Langit biru yang lapang mulai jatuh pada paving-paving pelataran Horizon menelan diriku mentah-mentah Wajahku terhapus dari hamparan lautan saat langit menghitam Membaca sepi adalah hal yang lumrah Sedangkan malam adalah ruang yang ku bangun sendiri Tempat yang tepat untuk ku memulangkan pejam dan mimpi-mimpi Perlahan waktu tak lagi kanak-kanak Membawaku mengangkat kabut-kabut di kaki langit Aku terbangun dan menemukan tubuhku duduk di sela-sela jendela Membuat pagi tak butuh aroma piccolo dan sesal hari kemarin Waktu...
Psithurism
Oktober 26, 2017 / BY Retno Dwi Cahyani
Kususun senandung angin-angin dibalik dedaunan sebagai engkau yang hilang Dibawah mendung yang hanya mengingatkan pada hal-hal yang masam dan curam Langit memanjang dan cahaya dibaliknya yang kemudian terlupakan Hutan sejatinya menjadi pendingin ruangan Merubah psithurism menjadi perasaan-perasaan yang menolak dewasa Pepohonan dipenuhi kenangan Dan aku akan pergi ke mana angin bertiup Menyemogakan ia agar mengarahkan engkau sedekat yang aku ingin Image Source: Pinterest ...
Aku, Kini
September 07, 2017 / BY Retno Dwi Cahyani
Aku, saat itu adalah duka yang sesungguhnya Kau bayangkan saja Apabila wajah manis gulaku memuai di jalan raya Wajah keruh, rasa-rasa tak mau tumbuh dan tulang belulang meleleh menjadi lembah keluh Ada juga nafas yang ingin ku lepas dan menghitam di atas putihnya kertas Ah, sudah Itu dulu Mereka hanyalah bumbu-bumbu masa lalu Kini, aku suka memandangimu Rasanya seperti berada diatas ayunan bergerak dan terkoyak Angin-angin membawa duka lepas pergi merangkak dan hawa dingin melunak...
Masih adakah denyut nadi Indonesia? Yang negaranya dianggap bianglala Oleh bandit-bandit bergincu dan berdasi Mengerek citra setinggi-tingginya Berlaku elok namun miris bak pengemis Pewarta menggunjing kepalsuan Kejujuran seperti barang haram Barang haram dianggap obat penenang Kunang-kunang jantan merayap pada kolong-kolong jembatan saat malam Menyorot peradaban yang merapuh Keadilan tak sehangat kemarin sore Kemanusiaan terusir, tergusur, dan terjajah Sengal nafas pencari kebenaran dianggap lelucon Kemudian dihabisilah ia dengan bengis Dan nyawa-nyawa dianggap uang receh Ah jelata...
Pagi itu, aku datangSedangkan kau memilih pulangBarangkali kau ingin mengumpulkan hujanMelihat ilalangmu termakan tandusDiantara tanah gersang dan kemarau yang dinginBersama cemara melintasi kemalangan sendiri Dibawah awan-awan yang masamMelindungi rapuhmu menjadi pecahan air mata yang membekuKau lebih memilih menyantap jarak dan meredupkan langitHujan; saat itu menjadi bahasa baru Kau tak sadar bagaimana ilalang apabila diguyur rindumuTumbuh subur dan meluap menjadi lautan detak jantung ditubuhmu Image Source: yukpiknik.com ...
Setiap kali pada cinta yang menjalar di setiap sudut kota aku berujar padanya, "ketulusan itu seperti tanah lapang dengan penuh hijau rerumputan yang bergoyang". Benar-benar tiada beban dan menyegarkan. Lihat cinta-cinta yang tamak itu! Lari kocar kacir tak karuan mengejar balasan. Tak beraturan seperti rambut anak-anak muda yang belum disisir. Ada tubuh kekar yang ingin seperti bayi-bayi dalam gendongan, sampai ada lengan yang ingin menjangkau pucuk gedung yang mencakar langit tapi tak...
Angin kesunyian berhembus diwajahmu semalaman Kabut kota berterbangan lebih lebat dari biasanya Dingin, Kau mengalungkan syal rajutmu sampai menutupi hidung Sementara berjalan sambil menyembunyikan jari-jari tangan di dalam saku celana Kau tahu, malam adalah keangkuhan rasa yang seharusnya meledak tapi tertimbun kebodohan Kau menyusurinya ketika kau paham bayanganmu sendiri hilang saat malam Mataku; langit tua yang penuh serpihan-serpihan cerita lama Aku ingin tahu, apakah setiap malam kau diam-diam bergegas membacanya seakan tak pernah tuntas? Dingin,...
Aku kagum pada setiap keberanian hidup Kau seperti alam yang terus bernyanyi dan menggantungkan masalah hanya diujung jempol kaki Langitmu berayun menikmati nyaringnya sambaran petir di pucuk-pucuk dedaunan Dan segala kepedihannya ditebang oleh kata-kata yang kokoh menjadi puisi Ribuan kali gemuruh ombakmu bergulung dan pecah dibibir pantai Seperti sesak yang tak tertahankan dan kau bisa merengek sejadi-jadinya Nyanyian yang luar biasa, ajaib! Bebanmu hanyut! Lalu aku menciut diantara keberanian nyanyian alam mu Aku kagum pada...
Harus kunamai sebagai apa? Pecahan diriku yang dinilai pusing dan membosankan bagi kaum Millennial? Kepingan semesta dalam diriku yang berbicara hingga kuping mereka menjadi bengal Udara lembab dan mata sembab yang menyatu dalam butiran sajak satire Pagi yang cerah dan malam yang bergairah, apa bedanya? Aku bebal, tak segera ku temui jawaban Di bilik usang tempatku berpulang Terasing di celah remang-remang dengan ribuan jejak kaki kawan Meneguk lembaran kisah pribumi pengagung Eropa di "Bumi Manusia"...
Pagiku kini bermata teduhMenahan jendela kayu menghasut sinar-sinar mimpi untuk lari tanpa jenuh Bukan lari dari segerombolan semut-semut hitam yang mengerumuni jari kaki-kaki kecilNamun lari melewati bebatuan tajam yang bertebaran dibalik rerumputan di padang savana diatas kerikil-kerikil kecil Kemudian pagi bermata teduh merasukiku sebagai mekar-mekar bunga seribu warnaKeharuman teguh menyapa hingga sesaat sebelum putik bunga mahkota terlepas dari singgasananyaMeyakini cita dan cinta akan datang dalam suatu ceritaHidup dalam hidup berbadan labirin yang berlika-likuDimana ujungnya? Tiada yang tahuMenerka,...
Sebentar Lagi
Januari 08, 2017 / BY Retno Dwi Cahyani
Kemudian semesta berbicara tanpa berbahasa Petuahmu tertimbun di celah-celah otakku Lagumu sendu, lagumu mendayu, sayu dimatamu Syukurlah kini masih tersisa Dimana senyap dimalamku, renyah dipagi hariku Dalam spektrum cahaya yang mampir dipelupuk mata Dalam titik-titik bening embun yang luruh berjatuhan Sebab daun pasrah dikibas-kibas oleh angin Kelabakan dibawah kaki langit Membuncahkan perihal keinginan-keinginan yang surut terbawa badai.. Semesta sudah renta Semesta memasuki usia senja Bisakah kita rawat seperti anak kita sendiri? Seperti burung terbang dengan...
Kau, Adalah sebuah lukisan yang tak ku kenal dalam diriku Menjelma potret alam dinding-dinding arteri Terpatri di setiap mimpi dalam tidur Tubuhmu tergerak lambat laun Seperti hawa dingin menyelinap di bawah pintu sel-sel darahku Dirimu duduk bersila diujung degup jantungku Menyeduh secangkir kopi hangat berasap keringat Menyimak sebuah nama mengudara Dalam igauan malam berkepanjangan.. Kau, Adalah pertanyaan-pertanyaan yang selalu aku dengungkan Menjelma bising yang tertawan gendang telinga Mengejar kepastian yang mengangkasa dalam awang-awang Tubuhmu lalu...