Kamis, 4 November 2010
Jantungku berdetak kencang. Darah ini berdesir, mengalir ke seluruh tubuh dengan cepat. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ini adalah detik-detik menuju pergantian waktu yang akan menuju pada hari jadi kita yang ke tiga. Apakah dia masih mengingatnya? Entahlah.
Kupikir tidak. Mengingat dia tak lagi seperti yang dulu. Akhir-akhir ini dia selalu menghilang tiba-tiba. Tak menampakkan batang hidungnya dan tak mau menghubungiku lagi. Memang aku juga sering seperti itu, sering menghilang tiba-tiba, dan kadang aku suka malas kalau mau pergi sama dia. Tapi aku belum separah itu. Apakah dia balas dendam sama aku??
Aku benci jika dia terus seperti itu. Membiarkan aku sendirian dalam gelap malam, saat tak ada cahaya bintang yang terang. Hanya suasana dingin yang mencekat seluruh nadiku. Dan kini terdengar suara rintik hujan membasahi genteng rumahku.
Tiga hari yang lalu adalah percakapan kami yang terakhir. Setelah sekian lama tak jumpa dan tak bicara. Ku coba menelponnya terlebih dahulu karena aku tak tahan dengan keadaan ini, kemudian dia mengangkatnya.
“Halo sayang, apa kabar?”
“Baik, ada apa sayang?”
“Kamu kemana aja akhir-akhir ini? Aku kangen sama kamu”
“Iya sayang aku juga kangen, tapi ini aku lagi latihan sama anak-anak. Nanti aku telpon balik ya, bye”
“Tuuuutt..tuuuuutttt..”
“Iya…” Hanya suara lirih dan sayu yang dapat aku ucapkan.
Sakit hatiku rasanya. Seperti melayang saat dia angkat telponku, dan langsung dihempaskan secara tiba-tiba saat dia menutup telponku terlebih dahulu. Ya! Seperti itulah dia yang sekarang. Sering menutup telponnya secara tiba-tiba dan tanpa basa-basi.
Ternyata dia sibuk dengan dunianya. Dunia yang seakan ingin dia kejar dan meninggalkan aku sendiri disini. Dia lebih memilih bersama teman-teman band nya daripada aku. Mengapa dia mencampakkan aku? Keadaan ini sangat tak ku harapkan. Kemana dia yang dulu? Apa iya dia sudah tak mencintaiku lagi dan telah memiliki wanita idaman lain? Atau apakah dia sedang frustasi karena masalah keluarganya yang tak memperhatikannya? Ribuan pertanyaan telah keluar dari anganku hingga meluap dan tak kunjung ku temukan jawabannya. Pada akhirnya aku mulai bosan. Bosan dengan ketidakpastian. Aku benci. Benci dengan keadaan yang seperti ini.
Ya! Dia memang anak saudagar yang kaya raya. Tetapi orang tuanya sibuk dengan pekerjaannya di luar negeri. Sekarang ini dia tinggal di rumah sendirian dengan ditemani seorang pembantu. Walau dia seorang yang kaya raya, dia tak bisa mencampakkan aku begitu saja setelah 3 tahun dia menemani hari-hari ku. Menjalani hari-hari indah berdua. Dan tak ada tangis luka yang kurasa. Dia yang selama ini periang dan selalu semangat menjalani hari-harinya denganku, kini bagaikan orang lain yang menarik diri dariku.
Jantungku berdetak kencang. Darah ini berdesir, mengalir ke seluruh tubuh dengan cepat. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ini adalah detik-detik menuju pergantian waktu yang akan menuju pada hari jadi kita yang ke tiga. Apakah dia masih mengingatnya? Entahlah.
Kupikir tidak. Mengingat dia tak lagi seperti yang dulu. Akhir-akhir ini dia selalu menghilang tiba-tiba. Tak menampakkan batang hidungnya dan tak mau menghubungiku lagi. Memang aku juga sering seperti itu, sering menghilang tiba-tiba, dan kadang aku suka malas kalau mau pergi sama dia. Tapi aku belum separah itu. Apakah dia balas dendam sama aku??
Aku benci jika dia terus seperti itu. Membiarkan aku sendirian dalam gelap malam, saat tak ada cahaya bintang yang terang. Hanya suasana dingin yang mencekat seluruh nadiku. Dan kini terdengar suara rintik hujan membasahi genteng rumahku.
Tiga hari yang lalu adalah percakapan kami yang terakhir. Setelah sekian lama tak jumpa dan tak bicara. Ku coba menelponnya terlebih dahulu karena aku tak tahan dengan keadaan ini, kemudian dia mengangkatnya.
“Halo sayang, apa kabar?”
“Baik, ada apa sayang?”
“Kamu kemana aja akhir-akhir ini? Aku kangen sama kamu”
“Iya sayang aku juga kangen, tapi ini aku lagi latihan sama anak-anak. Nanti aku telpon balik ya, bye”
“Tuuuutt..tuuuuutttt..”
“Iya…” Hanya suara lirih dan sayu yang dapat aku ucapkan.
Sakit hatiku rasanya. Seperti melayang saat dia angkat telponku, dan langsung dihempaskan secara tiba-tiba saat dia menutup telponku terlebih dahulu. Ya! Seperti itulah dia yang sekarang. Sering menutup telponnya secara tiba-tiba dan tanpa basa-basi.
Ternyata dia sibuk dengan dunianya. Dunia yang seakan ingin dia kejar dan meninggalkan aku sendiri disini. Dia lebih memilih bersama teman-teman band nya daripada aku. Mengapa dia mencampakkan aku? Keadaan ini sangat tak ku harapkan. Kemana dia yang dulu? Apa iya dia sudah tak mencintaiku lagi dan telah memiliki wanita idaman lain? Atau apakah dia sedang frustasi karena masalah keluarganya yang tak memperhatikannya? Ribuan pertanyaan telah keluar dari anganku hingga meluap dan tak kunjung ku temukan jawabannya. Pada akhirnya aku mulai bosan. Bosan dengan ketidakpastian. Aku benci. Benci dengan keadaan yang seperti ini.
Ya! Dia memang anak saudagar yang kaya raya. Tetapi orang tuanya sibuk dengan pekerjaannya di luar negeri. Sekarang ini dia tinggal di rumah sendirian dengan ditemani seorang pembantu. Walau dia seorang yang kaya raya, dia tak bisa mencampakkan aku begitu saja setelah 3 tahun dia menemani hari-hari ku. Menjalani hari-hari indah berdua. Dan tak ada tangis luka yang kurasa. Dia yang selama ini periang dan selalu semangat menjalani hari-harinya denganku, kini bagaikan orang lain yang menarik diri dariku.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Waktu telah menunjukkan pukul 00.00 tepat. Handphoneku tetap di atas meja dan tak berbunyi sedikitpun. Aku tak mau menyentuhnya. Biarlah. Terserah dia mau apa. Aku hanya bisa berdiri menatap jendela. Yang terlihat hanyalah bulan sabit yang tampak redup seredup hatiku. Aku mulai berjalan dan berbaring kembali ke atas ranjangku. Dengan harapan kosong yang telah membuatku kacau. Dan mataku mulai terpejam.
Tiba-tiba nampak dari kejauhan, handpone yang sejak dari tadi aku biarkan tergeletak di atas meja belajar yang agak jauh dari ranjang tidurku berbunyi. Dengan keadaan yang sempoyongan karena sudah mulai lelah dan mengantuk, aku berjalan ragu. Tak ingin itu semua hanya harapan palsu. Aku melihat layar handphone ku dengan seksama. Dan apa yang terjadi? Dia menelponku. Antara bahagia dan benciku campur aduk jadi satu.
Ku angkat telponnya dengan perlahan, terdengar suaranya dari ujung sana.
“Selamat malam sayangku, kamu belum tidur ya?”
“Iya, aku belum tidur, kenapa?”
“Kamu nggak ingat ya ini tanggal berapa?”
“Iya ingat, ini tanggal 5 November kan?”
“Tepat pada tanggal ini kan kita genap 3 tahun sayang, kamu lupa?”
“Ingat banget, dari tadi aku tungguin telpon kamu. Tapi kenapa baru telpon sekarang? Kamu sekarang udah berubah ya, nggak kayak dulu lagi! Kamu udah jarang nelpon aku, tiba-tiba ngilang gitu aja dan sekarang, tahun-tahun kemarin kan biasanya kamu ngucapinnya jam 12 tepat, kenapa hari ini baru jam 2 kamu telepon? Aku nggak ngerti ya apa yang ada dipikiranmu! Nggak punya perasaan banget sih kamu! Apa kamu sudah bosan? Apa kamu sudah punya wanita lain selain aku? Ha?”
“Maaf sayang, aku sayang banget sama kamu, jaga diri kamu baik-baik ya? Aku mencintaimu”
“Tapi…”
“Tuuuutt..Tuutt”
Kejadian yang sama terulang kembali. Telepon yang terputus secara tiba-tiba. Aku heran. Aku mencoba untuk menelaah dan memahami perkataannya yang terakhir kali pada percakapan kita berdua tadi. Ada yang aneh pada suaranya, tampak lirih dan terbata-bata. Apa yang terjadi padanya? Dan kegelisahanku mulai muncul. Ada apa ini? Mengapa semua terjadi seperti ini? Sudah banyak pertanyaan yang muncul dari benakku. Yang kini telah meluap dan aku tidak mampu menampungnya lagi. Aku ingin penjelasan darinya. Aku lelah, hingga ku terlelap dengan semua pikiranku.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sabtu, 6 November 2010
Pagi harinya sekitar pukul 8 pagi aku siap-siap menuju rumahnya sebelum kebencian ini memuncak. Entah kenapa tubuh ini seakan memberi dorongan agar aku secepatnya kesana. Segera ku keluarkan motorku dan bergegas pergi.
Setelah sampai di rumahnya, aku tak tahu apa yang terjadi. Rumahnya tampak sepi dan tak berpenghuni. Hanya seorang pembantu rumah tangga yang tampak sedang menyapu halaman rumahnya. Segera ku hampiri dia dan bertanya.
“Selamat pagi mbok.."
"Selamat pagi non.. Mbak mau cari siapa ya?"
"Tritan nya ada mbok?”
"Maaf kalau boleh saya tahu, non ini siapa ya? Kok baru mencari mas Tritan?"
"Nama saya Nila mbok, pacarnya Tritan. Tritan nya ada?"
"Loh.. non Nila ndak tahu ya, mas Tritan kan sedang di rawat di rumah sakit deket sini non. Selama ini mas Tritan sakit kangker paru-paru, akhir-akhir ini keadaannya drop sekali dan akhirnya dia tak mampu lagi bertahan dan masuk rumah sakit deket sini. Kasian mas Tritan. Dia sakit keras seperti ini tetapi keluarganya tidak ada yang tahu di rumah sakit. Mas Tritan ndak pernah cerita sama non kalau dia sakit?”
Perkataan simbok barusan membuat memoriku mau tak mau kembali pada minggu-minggu kemarin. Aku baru memahami apa yang selama ini terjadi. Ya Allah, mengapa Kau biarkan semua ini terjadi pada kami? Aku sama sekali tak mengerti. Tubuh ini kaku, terasa panas dingin seketika. Nafasku tercekat, tak dapat ku berbicara satu kata pun. Jantung hatiku terasa tertembus peluru panas hingga ingin ku terjatuh dan tak mampu berdiri lagi. Batinku tergoncang mengingat perkataan simbok. Aku tak kuasa membendung air mata ini. Yang perlahan menetes dan ku genggam tangan ini dan ingin ku teriak sekencang-kencangnya.
Kuhela nafas, kupejamkan mata. Tanpa sepatah kata pun ku
tinggalkan simbok sendirian, kemudian aku segera berlari mencari
rumah sakit yang dekat dengan rumah Tritan.
Ini dia Rumah Sakit Raya. Tak terasa peluh dan air mataku telah menjadi satu. Segera ku cari ruang pasien bernama Tritan di rawat. Dan ternyata dia dirawat di ruang bernomor 305. Ku berlari kemudian kutemui ruang 305.
Perlahan kubuka pintu kamar tersebut. Betapa pilunya hatiku ketika ku melihat di sudut kamar itu, terlihat sebuah ranjang besar dan diatasnya tergeletak seorang lelaki yang sangat ku cintai dan terpasang sebuah selang infus di tangannya serta alat bantu nafas yang ada di hidungnya. Lelaki tegar dan kuat yang selama ini menderita kangker paru-paru, mampu menjalani hidupnya tanpa keluarga dan tanpa seorang kekasih yang mendampinginya. Serta tanpa seorangpun yang memberi perhatian padanya.
Perlahan dia membuka mata, dan menemukanku berdiri disamping pintu dengan linangan air mata yang tak dapat terbendung. Sesak hati ini. Ingin ku tampar wajahnya, ingin ku pukul badannya, tapi ku tak kuasa. Hanya isakan tangisku yang mendera. Langkah demi langkah ku dekati dirinya. Dia tersenyum. Dan malah membuat hatiku semakin kacau. Mengapa dia setegar itu? Mengapa dia tak menceritakan semua yang di deritanya kepadaku? Perlahan tangannya pun bergerak dan mulai menyentuh jemari tangan kananku. Menarik tubuh ku hingga tepat di sampingnya.
Ku belai rambutnya, ku sentuh matanya, ku sentuh hidungnya, ku sentuh pipinya. Dia masih setampan dulu walaupun kini wajahnya sudah mulai pucat, bibirnya yang memutih dan tatapan matanya tak setajam dulu. Tak terasa setetes air mata jatuh mengalir di tanganku. Pipinya berlinangan air mata. Dan sambil tersenyum, dia mencium tanganku.
Ya Allah ya Tuhanku, aku tidak kuat menahan gejolak batin ini. Aku ingin semua kembali seperti dahulu. Aku pun mulai mengingat apa yang telah terjadi selama 3 tahun ini. Ketika kita pertama kali bertemu di warung es teller. Saat-saat dia yang menolongku membayar es teller yang telah ku makan karena saat itu aku tak membawa dompet, masa-masa dia PDKT sama aku, saat kita jadian tepat pada tanggal 5 november kemarin, saat-saat kita menjalani hari-hari bersama karena kita satu kampus, saat dia menyanyikan sebuah lagu romantis untukku dengan gitar kesayangannya, dan saat-saat aku dan dia pergi kemanapun yang kami mau.
Akupun juga teringat dengan segala ke egoisanku, menyesali segala kebiasaan ku yang memang pencemburu berat dan menyesali segala yang terjadi karena aku belum bisa memberi perhatian lebih padanya, sampai-sampai aku sama sekali tidak mengerti dengan keadaannya, serta mengingat ucapan yang terakhir kali ku ucapkan padanya. Itu sungguh kasar. Aku pikir aku telah melukai hatinya, dan berprasangka sangat buruk padanya. Itu semua terlintas dalam anganku secara tiba-tiba tanpa ku sadari. Aku sungguh menyesalinya.
“Sayang?”
Kemudian terdengar suara lirih yang memanggilku ‘sayang’ membangunkan aku dari lamunan penyesalanku. Kupandangi wajahnya dan kutatap matanya, dia kelihatan bahagia melihatku disini. Tapi berbanding terbalik denganku, rasa ini sudah tidak karuan, pikiran kacau dan tak dapat lagi ku mendeskripsikannya.
“Sayang, kamu nggak papa?”
“Iya aku nggak papa. Seharusnya aku dong yang tanya begitu sama kamu. Kamu nggak papa?”
“Coba kamu lihat, aku nggak papa kan? Aku kuat kok. Maaf ya.. Aku tidak pernah membicarakan ini semua padamu”
“Sudah, kamu jangan banyak bicara. Yang harus kamu lakukan cuma istirahat yang banyak, makan yang banyak, trus minum obat yang teratur. Aku yakin kamu pasti sembuh sayang. Aku juga maaf karena aku kurang perhatian sama kamu, sampai-sampai aku tak tahu keadaanmu yang sebenarnya. Aku sayang kamu”
Dan dia membalas perkataanku hanya dengan tersenyum. Di tengah percakapan lirih nan singkat kami, tiba-tiba dia sesak nafas dan seketika itu aku panik. Dalam keadaan seperti itu dia masih mampu berkata lirih sambil menggenggam erat tanganku.
"Jarak bukanlah alasan untuk kita saling melupakan sayang, namamu akan slalu aku jaga di hati sampai akhir hayat ini. Aku mencintaimu”
Suasana hening seketika. Tiba-tiba aku melihat tubuhnya tergetar, perlahan matanya tertutup, dan kurasakan hembusan nafasnya perlahan ikut memudar. Tangannya yang sebelumnya sempat menggenggam kencang tanganku, perlahan lemas dan tergolek dengan sendirinya. Akupun tak bisa menahan ini semua. Aku tak percaya segala yang telah terjadi dihadapanku. Mengapa dia pergi secepat itu? Mengapa dia pergi tepat di depan mataku? Apa yang harus aku lakukan? Aku pun teriak.
“Dokter…!! Dokter…!!”
“Sayang, bangun! Kamu mau kemana? Aku tak ingin kamu pergi.. Kembalilah! Buka matamu..!! Bukankah kamu janji akan menikah denganku kelak. Bukankah kamu berjanji kamu kelak akan menjadi ayah dari anak-anak ku. Mana janji-janjimu yang akan terus disampingku??”
Walau dalam keadaan seperti itu, sepertinya ingin ku tagih semua janji-janjinya yang telah dia berikan kepadaku. Aku menjerit, aku menangis sejadi-jadinya. Melihat tubuh kekasih hatiku yang sudah tak berdaya lagi, wajahnya pucat dan nyatanya dia telah pergi untuk selama-lamanya dengan senyuman yang tersungging dibalik wajah pucat pasinya. Mata dan fikiranku belum bisa mempercayainya. Kini dia telah pergi jauh meninggalkanku.
"Sayang, terima kasih telah memberi warna baru bagiku, walau akhirnya kudapati dirimu jauh meninggalkanku lebih dulu dan menjadikan hariku kelabu. Tapi aku yakin seperti kata orang bilang, jika pertemuan adalah awal dari perpisahan maka perpisahan adalah awal dari sebuah pertemuanku denganmu di alam sana, sayang. Tunggu aku di surga, sayang. Aku akan terus mencintaimu".
Aku bergumam dalam isak tangisku.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ini dia Rumah Sakit Raya. Tak terasa peluh dan air mataku telah menjadi satu. Segera ku cari ruang pasien bernama Tritan di rawat. Dan ternyata dia dirawat di ruang bernomor 305. Ku berlari kemudian kutemui ruang 305.
Perlahan kubuka pintu kamar tersebut. Betapa pilunya hatiku ketika ku melihat di sudut kamar itu, terlihat sebuah ranjang besar dan diatasnya tergeletak seorang lelaki yang sangat ku cintai dan terpasang sebuah selang infus di tangannya serta alat bantu nafas yang ada di hidungnya. Lelaki tegar dan kuat yang selama ini menderita kangker paru-paru, mampu menjalani hidupnya tanpa keluarga dan tanpa seorang kekasih yang mendampinginya. Serta tanpa seorangpun yang memberi perhatian padanya.
Perlahan dia membuka mata, dan menemukanku berdiri disamping pintu dengan linangan air mata yang tak dapat terbendung. Sesak hati ini. Ingin ku tampar wajahnya, ingin ku pukul badannya, tapi ku tak kuasa. Hanya isakan tangisku yang mendera. Langkah demi langkah ku dekati dirinya. Dia tersenyum. Dan malah membuat hatiku semakin kacau. Mengapa dia setegar itu? Mengapa dia tak menceritakan semua yang di deritanya kepadaku? Perlahan tangannya pun bergerak dan mulai menyentuh jemari tangan kananku. Menarik tubuh ku hingga tepat di sampingnya.
Ku belai rambutnya, ku sentuh matanya, ku sentuh hidungnya, ku sentuh pipinya. Dia masih setampan dulu walaupun kini wajahnya sudah mulai pucat, bibirnya yang memutih dan tatapan matanya tak setajam dulu. Tak terasa setetes air mata jatuh mengalir di tanganku. Pipinya berlinangan air mata. Dan sambil tersenyum, dia mencium tanganku.
Ya Allah ya Tuhanku, aku tidak kuat menahan gejolak batin ini. Aku ingin semua kembali seperti dahulu. Aku pun mulai mengingat apa yang telah terjadi selama 3 tahun ini. Ketika kita pertama kali bertemu di warung es teller. Saat-saat dia yang menolongku membayar es teller yang telah ku makan karena saat itu aku tak membawa dompet, masa-masa dia PDKT sama aku, saat kita jadian tepat pada tanggal 5 november kemarin, saat-saat kita menjalani hari-hari bersama karena kita satu kampus, saat dia menyanyikan sebuah lagu romantis untukku dengan gitar kesayangannya, dan saat-saat aku dan dia pergi kemanapun yang kami mau.
Akupun juga teringat dengan segala ke egoisanku, menyesali segala kebiasaan ku yang memang pencemburu berat dan menyesali segala yang terjadi karena aku belum bisa memberi perhatian lebih padanya, sampai-sampai aku sama sekali tidak mengerti dengan keadaannya, serta mengingat ucapan yang terakhir kali ku ucapkan padanya. Itu sungguh kasar. Aku pikir aku telah melukai hatinya, dan berprasangka sangat buruk padanya. Itu semua terlintas dalam anganku secara tiba-tiba tanpa ku sadari. Aku sungguh menyesalinya.
“Sayang?”
Kemudian terdengar suara lirih yang memanggilku ‘sayang’ membangunkan aku dari lamunan penyesalanku. Kupandangi wajahnya dan kutatap matanya, dia kelihatan bahagia melihatku disini. Tapi berbanding terbalik denganku, rasa ini sudah tidak karuan, pikiran kacau dan tak dapat lagi ku mendeskripsikannya.
“Sayang, kamu nggak papa?”
“Iya aku nggak papa. Seharusnya aku dong yang tanya begitu sama kamu. Kamu nggak papa?”
“Coba kamu lihat, aku nggak papa kan? Aku kuat kok. Maaf ya.. Aku tidak pernah membicarakan ini semua padamu”
“Sudah, kamu jangan banyak bicara. Yang harus kamu lakukan cuma istirahat yang banyak, makan yang banyak, trus minum obat yang teratur. Aku yakin kamu pasti sembuh sayang. Aku juga maaf karena aku kurang perhatian sama kamu, sampai-sampai aku tak tahu keadaanmu yang sebenarnya. Aku sayang kamu”
Dan dia membalas perkataanku hanya dengan tersenyum. Di tengah percakapan lirih nan singkat kami, tiba-tiba dia sesak nafas dan seketika itu aku panik. Dalam keadaan seperti itu dia masih mampu berkata lirih sambil menggenggam erat tanganku.
"Jarak bukanlah alasan untuk kita saling melupakan sayang, namamu akan slalu aku jaga di hati sampai akhir hayat ini. Aku mencintaimu”
Suasana hening seketika. Tiba-tiba aku melihat tubuhnya tergetar, perlahan matanya tertutup, dan kurasakan hembusan nafasnya perlahan ikut memudar. Tangannya yang sebelumnya sempat menggenggam kencang tanganku, perlahan lemas dan tergolek dengan sendirinya. Akupun tak bisa menahan ini semua. Aku tak percaya segala yang telah terjadi dihadapanku. Mengapa dia pergi secepat itu? Mengapa dia pergi tepat di depan mataku? Apa yang harus aku lakukan? Aku pun teriak.
“Dokter…!! Dokter…!!”
“Sayang, bangun! Kamu mau kemana? Aku tak ingin kamu pergi.. Kembalilah! Buka matamu..!! Bukankah kamu janji akan menikah denganku kelak. Bukankah kamu berjanji kamu kelak akan menjadi ayah dari anak-anak ku. Mana janji-janjimu yang akan terus disampingku??”
Walau dalam keadaan seperti itu, sepertinya ingin ku tagih semua janji-janjinya yang telah dia berikan kepadaku. Aku menjerit, aku menangis sejadi-jadinya. Melihat tubuh kekasih hatiku yang sudah tak berdaya lagi, wajahnya pucat dan nyatanya dia telah pergi untuk selama-lamanya dengan senyuman yang tersungging dibalik wajah pucat pasinya. Mata dan fikiranku belum bisa mempercayainya. Kini dia telah pergi jauh meninggalkanku.
"Sayang, terima kasih telah memberi warna baru bagiku, walau akhirnya kudapati dirimu jauh meninggalkanku lebih dulu dan menjadikan hariku kelabu. Tapi aku yakin seperti kata orang bilang, jika pertemuan adalah awal dari perpisahan maka perpisahan adalah awal dari sebuah pertemuanku denganmu di alam sana, sayang. Tunggu aku di surga, sayang. Aku akan terus mencintaimu".
Aku bergumam dalam isak tangisku.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Minggu, 6 November 2011
1 tahun kemudian.
Aku telah menjadi pribadi yang baru. Menjadi Nila sesungguhnya, yang tidak selalu menonjol, lebih pendiam, lebih kalem, lebih sabar, lebih ikhlas serta selalu memberi perhatian kepada siapapun yang aku sayangi. Karena aku tak ingin kejadian yang sama terulang kembali menerpa hidupku.
Aku duduk terdiam di bawah pohon rindang. Di atas bukit dekat rumahku. Memandang langit luas serta pemandangan bukit hijau yang berjejer rapi. Ku teringat senyuman terakhirmu, kasih. Ada secarik kertas dan bolpoin digenggamanku. Angin sepoi-sepoi seakan memberi suatu kekuatan untuk menulis suatu bait tentangmu. Aku menulis suatu puisi untuknya sebagai tanda rinduku untuknya walaupun sudah setahun berlalu.
Minggu, 6 November 2011
Dear : Kekasih hatiku,
Alm. Tritan sayang..
Ribuan detik, ribuan menit, ribuan jam, dan ratusan hari telah berlalu
Tanpa terasa ku telah berhasil melewati semua itu tanpamu
Tapi tak kunjung hatiku berlabuh dalam suatu dermaga hati yang lain
Ku merindukanmu wahai pujaan hatiku, pahlawan jiwaku
Hatiku yang beku kini mulai mencair dan mulai bangkit
Karna aku menyadari bahwa kau akan bersedih jika melihatku trus meratapi
Kenangan itu..
Masih tersusun rapi dalam memoriku
Aku ingin lebih kuat darimu
Setegar karang yang tetap kuat meski di terpa ombak kesedihan
Nila yang menjadi kelabu kini perlahan memudar
Nila kini perlahan menjadi warna yang cerah
Tampak dari kejauhan terdapat bayangmu diujung sana
Semakin dekat dan semakin mendekat
Engkau yang tampan nan rupawan mengirimkan senyuman manis untukku
Senyuman itu yang kini menular padaku
Akupun mulai tersenyum kembali, walau kau tak berada di sisi
Aku yang pilu, aku yang sendu perlahan mulai menyusun lagi kehidupanku yang baru
Badai yang kulalui, aku yakin pasti kan berlalu
Walau kutahu pasti akan ada kerikil kecil
Yang akan menghalani jalanku
Kini kutanamkan rinduku disini
Diatas kakiku berpijak
Diatas bukit dan hijau yang terhampar permadani luas yang menyegarkan mata
Ingin aku selalu merindukanmu disini
Memandang langit nan biru dan kemudian ku melihatmu tersenyum
Rasa ini
akan terus menjadi milikmu, sayang
Percayalah bahwa engkau telah merajai hati ini
Aku selalu merindukanmu
Tetap tunggu aku di surga
I miss you..
Percayalah bahwa engkau telah merajai hati ini
Aku selalu merindukanmu
Tetap tunggu aku di surga
I miss you..
Kekasih
yang sedang merindukanmu,
Nila
Lega rasanya hatiku setelah menulis suatu puisi untuknya. Yang mungkin ini mirip sebuah surat untuk dirinya. Ku lipat kertas puisiku, hingga berbentuk seperti pesawat. Ini adalah pesawat cinta untuk kekasih hatiku. Ingin ku pergi terbang bersama anganku dengan pesawat cinta ini. Aku ingin bertemu dengan kekasih hatiku untuk mengobati rasa rinduku. Perlahan ku terbangkan pesawat ini dari atas bukit. Aku terdiam, ku hembuskan nafas, kupejamkan mataku, kurasakan semilir angin yang berdesir, kubayangkan senyuman terakhirmu, dan anganku pun mulai melayang. Terbang..
Lega rasanya hatiku setelah menulis suatu puisi untuknya. Yang mungkin ini mirip sebuah surat untuk dirinya. Ku lipat kertas puisiku, hingga berbentuk seperti pesawat. Ini adalah pesawat cinta untuk kekasih hatiku. Ingin ku pergi terbang bersama anganku dengan pesawat cinta ini. Aku ingin bertemu dengan kekasih hatiku untuk mengobati rasa rinduku. Perlahan ku terbangkan pesawat ini dari atas bukit. Aku terdiam, ku hembuskan nafas, kupejamkan mataku, kurasakan semilir angin yang berdesir, kubayangkan senyuman terakhirmu, dan anganku pun mulai melayang. Terbang..
-
THE END -
by : RDC