Need Somebody

by - November 14, 2014

     Sorak sorai anak kecil berkejaran. Itulah yang tertangkap kedua bola mata dan telingaku setelah ku intip sejenak teras kos pagi ini. Aku mencoba duduk menyandarkan pundahku pada  tiang penyangga. Semua orang mulai bersemangat mengejar impiannya masing-masing. Berusaha menyeret segala imajinasi mereka ke alam nyata. Kemudian hening. Suasana seperti ini menyebabkan pikiranku melanglang buana, memberikan aku secuil dorongan untuk menulis tulisan kabur di blog ini.  Seperti orang bodoh, aku hanya bisa melihat orang-orang telah melangkah jauh. Ah tidak, bahkan mereka telah berlari sekencang-kencangnya mencoba menangkap segala asanya yang mungkin telah mereka rancang sebelumnya. 
     Dari sini aku mencoba menyelami diriku sendiri. Tubuhku menciut, bisakah aku seperti mereka? Seandainya saja mereka bisa menarik lengan dan memaksaku untuk bergerak lebih jauh. Tetapi faktanya mereka malah sukses mendapati diriku yang hanya bisa merangkak pelan untuk maju. Telah lama aku hanya tertahan disini, diam di tempat, dan sesekali hanya ingin berjalan di tempat. Tapi aku tak pernah mencoba membayangkan jika harus berjalan mundur (lagi). Karena aku yang dahulu adalah seorang anak yang percaya diri dan bocah ingusan yang hanya ingin tahu apa yang ada didepannya. Sekarang, entah kemana tak kudapati lagi dengung derup suara langkah kakinya.
     Sulit terkadang melihat kenyataan yang telah hadir dalam lingkup kehidupanku. Membayangkan segala rekam jejak kehidupan mereka sebelumnya, yang bisa dibilang mereka memiliki prestasi yang belum mencukupi. Tetapi nyatanya mereka telah mampu membuktikan bahwa mereka bisa survive dengan segala kelebihan yang mereka miliki masing-masing. Mereka bisa terus maju seperti tiada halang rintang menapaki seluruh peluh akibat kerja keras mereka. Mereka telah membuktikan bahwa jika ada usaha dan keberanian yang selalu berjalan beriringan, maka mereka mampu menggoreskan catatan hidup yang mengarah pada kemajuan.
     Memulai. Ada banyak hal yang selalu aku pertimbangkan saat memulai. Ada kalanya aku harus mengumpulkan segenap keberanian yang berada dalam tubuh ini untuk memulai sesuatu. Inilah batu sandungan yang harus bisa aku lewati. Seharusnya aku bisa melewati itu dengan jangkah panjang ataupun aku harus melompat agar bisa mendapati diriku berada di titik yang lebih jauh. Mencoba menghindari batu sandungan yang mungkin bisa mengakibatkan aku terjatuh.
     Pagi ini, terdengar pula kicauan burung-burung kecil yang muncul dari bilik sangkar milik tetangga sebelah. Sempat ku berpikir bahwa keadaan mereka sama sepertiku. Yang hanya bisa mengekspresikan diri dibalik sangkar dan terkekang dari hiruk pikuk dunia luar yang bebas.  Angin semilir yang berhasil menggerayahi pelipis ku membawa lamunanku ke alam sadarku. Aku pun menemukan realita yang mengejutkan. Bahwa aku yang sekarang bukanlah aku yang dahulu. Dan setelah kubaca lagi sederet huruf-huruf kecil yang berbaris rapi di depan mataku, aku semakin yakin bahwa aku hanyalah seseorang yang memiliki sebongkah ikatan gundah dalam hati. Kemudian ku sadari bahwa keraguan di diri ini telah tumbuh berkembang dan menghambat laju jalanku.
     Hidup ini layaknya sebuah labirin yang dipenuhi rongga berliku-liku dan tak tak dapat kuterka ujungnya. Kadang aku harus memilih celah mana yang akan kulalui. Itulah yang akan menentukan secercah cahaya terang dalam kehidupanku selanjutnya. Walau terdapat resiko yang mengelabui masing-masing pilihan, seharusnya aku tak pernah memikirkan hal itu terlalu dalam. Resiko, seperti halnya sebuah ketakutan. Terlalu hati-hati dan berdiam diri di zona aman membuat diriku enggan untuk mengambil resiko lebih jauh. Dan hal itu pula yang membuat hidupku kurang terjamah oleh tantangan dan pengalaman. Aku ingin menjadi orang yang optimis. Tak ada kebimbangan dan pertimbangan yang terlalu dalam saat memperhitungkan langkah mana yang harus aku tempuh. Aku harus cepat bergerak untuk menyamakan derup langkah kakiku dengan yang lain.
     Tak terasa sudah waktu cepat bergulir, membiarkan aku menyelami diriku sendiri dan menulis tulisan kabur yang membuatku ingin cepat-cepat kabur dari masalah ini. Untuk di kemudian hari, aku selalu bertanya dalam benakku. Masihkah ada harapan di depan mataku? Sampai sekarang aku masih membutuhkan seseorang yang dapat menuntunku menyusuri lorong keraguanku. 


You May Also Like

0 komentar