Trauma

by - September 24, 2015

Sapalah, hingga putik bunga mahkota terlepas dari singgasananya
Sapalah, hingga rona senja memudar sesaat sebelum pekat petang tiba
Sapalah, hingga puing dedaunan berguguran manja tersapu angin malam
Sapalah, hingga nyayian indah kenangan berubah menjadi nada-nada geram

Adakah setitik cahaya remang yang dapat menuntun kawanku menghindari halusinasinya. Bahkan untuk berharap mendapat setitik cahaya terang pun ia merasa tak pantas. Ia bukan lari dari segerombolan semut-semut hitam yang dengan semangatnya mengejar dan merubung jari-jari kaki kecilnya. Tetapi ia berusaha lari melewati bebatuan dan kerikil-kerikil kecil yang bertebaran dibalik rerumputan di padang savana. Acapkali ia berpikir kedua kalinya untuk kembali memutar roda kehidupan seperti sebelumnya. Yang kerap merajam sekujur tubuhnya ketika hal itu terbayang dan melintas di sela-sela memorinya. Ia lelah mencari wadah yang dapat menjulai menghapirinya untuk ikut merasakan pahit getirnya janji yang termakan waktu. 

Terkadang ia pun mengaburkan retorika indah cinta yang datang dari ribuan pengembara cinta yang sudah mahir menyantap asam manisnya lagu rindu. Persis seperti nada-nada sumbang yang meminta izin pada daun telinga untuk memaksa menembus lubang telinganya, ia mengabaikannya. Ketika sang mentari menjenguk keberadaannya, sontak ia bersembunyi di tengah pekatnya kabut pagi. Hingga sang petang menyelimuti, ia tetap kukuh atas pengharapannya bahwa sang mentari tak kan pernah berseri kembali. Ia tampak muram dan masih terkekang dalam lamunan, bagai raut wajah para pesakitan. Sungguh, berulang kali ia berfikir bahwasanya mendua dengan sunyi beribu kali lebih nyaman daripada hanya sekedar mengejar bayang-bayang ilalang yang selalu setia menghalangi pandangan.

Teringat kala ia mencoba memetik dawai asmaranya satu-persatu, terciptalah alunan rasa bahagia yang tiada tara. Terbelenggu bias asa dari paras pemuda beserta janji-janjinya. Terbuai sajak berirama surga sang pencuri kalbu, yang sejatinya tiada pernah tertuju. Hingga dentang waktu kian berpacu dan mengubah indah cinta dalam sukma menjelma kobaran api dalam neraka. Rancu, semua jadi satu. Berbagai rasa yang campur aduk menyandera derita dan ia tak sanggup melepaskannya. Rasanya kini dunianya tak seperti biasanya. Pintu hatinya telah berdiri kokoh, tertutup dan tertancap sebuah kunci tembaga dari balik daun pintu itu. Apapun yang dilontarkan oleh sinaran mentari, bulan dan bintang yang menghangatkan pun dihiraukan. Ia yakin semua itu hanyalah sebuah pentas parodi yang berisikan berbagai macam adegan. Hanya permainan. Tak tulus. Fiktif belaka. 

Ya! Itulah hak Sang Pemilik Langit. Membolak-balikkan hati manusia tuk meyakinkan tentang teguh tidaknya hati seseorang atas keimanannya. Seakan Dia ingin menunjukkan bahwa pengharapan pada sesama manusia hanya bisa mematahkan hati banyak jiwa. Dan kembali pada-Nya adalah jalan terang satu-satunya tuk dapat mengarungi saat-saat kelam menyapa. Yang kelak dapat menuntunnya untuk merapikan puing hatinya yang telah lama berserakan. Hingga saat ini, jemari manisnya tak henti mengusap halus pipinya yang ternoda air mata. Suara lirih sesenggukan timbul dari balik lorong kerongkongannya. Dan ia terus berlari, bagai lari ditengah lapangnya gurun sahara tuk mencari setetes embun pagi.



You May Also Like

0 komentar